Fernan Rahadi
Otonomi daerah telah membuat pemerintah daerah (pemda) bebas menentukan anggarannya sesuai kebutuhan sehingga belanja pegawai di 124 pemda pun membengkak sampai 60 persen belanja daerah. Semua itu adalah konsekuensi dari sistem politik saat ini.
Menurut anggota Komisi II DPR Arif Wibowo, belanja pegawai pemda yang jauh lebih tinggi dibanding belanja pembangunan adalah dampak wajar dari desentralisasi. "Ini soal lama, konsekuensi reformasi," kata anggota Fraksi PDI Perjuangan itu di DPR, Senin (4/7). Menurut Arif, belanja pegawai tinggi karena kepala daerah ingin melakukan segala cara agar balik modal. Alasannya, biaya politik yang mahal membuat pemda mengeluarkan kebijakan yang membuat APBD habis hanya untuk belanja rutin. Ditambah adanya perekrutan pegawai negeri sipil (PNS) yang tidak mengindahkan aturan zero growth sehingga beban APBD semakin berat. "Ini pentingnya biaya politik daerah yang murah," kata Arif.
Arif mengkritik pemerintah pusat yang selama ini abai dalam melakukan pengawasan terhadap penyusunan program belanja pemda. Menurutnya, pemerintah pusat punya otoritas melakukan supervisi dan persetujuan APBD setiap pemda. "Yang jadi pertanyaan, mengapa anggaran belanja pegawai ini naik terus tak ada evaluasi? Ini yang harus jadi catatan," ujarnya. Berdasarkan analisis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) pada 2007 porsi rata-rata belanja pegawai daerah mencapai 44 persen. Angkanya meningkat menjadi 55 persen pada 2010, sedangkan belanja modal mengalami penurunan dari 24 persen pada 2007 menjadi 15 persen pada 2010.
Sekjen Fitra Yuna Farhan juga mendesak pemerintah pusat menyusun rasio jumlah pegawai dan melakukan depolitisasi birokrasi. Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Reydonnizar Moenek mengusulkan revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Kementerian Dalam Negeri menyarankan agar belanja pegawai daerah dise-rahkan ke pusat dan tak lagi masuk komponen dana alokasi umum (DAU). Menurut Reydonnizar, saat ini anggaran untuk gaji pegawai dikuasai kepala daerah sehingga PNS bisa dimanfaatkan sebagai alat politik. Jika anggaran belanja pegawai daerah diambil alih pusat, tidak ada lagi PNS yang terkotak-kotak akibat politisasi daerah. "Dengan begitu, pembangunan bisa berjalan dan penetapan anggaran belanja bisa disesuaikan aturan yang ada."
Kepala Biro Hukum dan Humas Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Gatot Sugiharto menyatakan, penerimaan PNS sebenarnya telah dibatasi dengan menyesuaikan jumlah yang diterima dan yang pensiun. Masalahnya, untuk pengaturan penerimaan PNS di daerah, diserahkan ke masing-masing pemda.
Kementerian PAN-RB, kata Gatot, juga telah mengimbau agar pemda mengurangi jumlah penerimaan PNS. ■ cl3/citra listya rini ed: rahmad budi harto
Sumber : Republika hal.11, 5 juli 2011
0 komentar:
Posting Komentar