Penulis: Fran Suwarman Sjam
Ada fenomena menarik tentang perusahaan utama di dunia. Ternyata, berdasarkan data Fortune 500 dan ahli manajemen Peter Senge, perusahaan utama rata-rata berumur dua generasi alias berusia antara 40-50 tahun.
Akan tetapi, mengacu studi Ellen de Roiij dari Stratix Group, segelintir perusahaan terdepan berumur lebih panjang seperti seperti Sumitomo, perusahaan konglemerasi asal Jepang, yang hingga kini berusia 400 tahun.
Stora, sebuah perusahaan kertas raksasa di Swedia, kira-kira berumur 800 tahun, Du Pont (perusahaan kimia Amerika Serikat) telah berusia sekitar 195 tahun, serta Pilkington (perusahaan kaca Inggris) yang telah berulangtahun ke-171.
Selidik punya selidik, kedua penelitian di atas menunjukkan bahwa yang menyebabkan perusahaan ini berumur panjang, sehingga akhirnya menjadi perusahaan utama, adalah pengelolaan pengetahuan.
Maksudnya, manajemen perusahaan ini sangat menghargai pengetahuan yang dimiliki personelnya. Bahkan, pengetahuan ditempatkan sebagai sumber daya ekonomi lebih tinggi dari modal, sumber daya alam, dan tenaga kerja itu sendiri.
Dengan menjadikan pengetahuan karyawan sebagai living asset, maka perusahaan bisa terus belajar menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan zaman sehingga konsumen dan pasar bisa terbina sekian lama.
Persoalannya kemudian adalah pengetahuan di era teknologi informasi sekarang, era ketika jelajah dunia maya kian agresif menerpa, tampaknya sudah membawa kita ke dalam globalisasi dan revolusi pengetahuan.
Ini ditunjukkan dengan menjamurnya blog, situs jejaring sosial, portal, hingga metode macam e-learning, document management system, enterprise content management, data warehouse dan business intelligence.
Dan, suka tidak suka, disadari atau tidak, revolusi pengetahuan ini jadinya kerap disertai situasi kian meluapnya informasi. Ini membuat yang tidak relevan dibutuhkan pun terkadang muncul (information overload).
Situasi ini tidak sederhana. Sebab, Thomas A Stewart dalam Intellectual Capital & Wealth of Knowledge, menyatakan sebuah perusahaan sebenarnya membuang milyaran dollar ketika gagal mengelola dan mendeskripsikan pengetahuan.
Alih-alih menciptakan situasi pengetahuan sebagai living asset yang menguntungkan, perusahaan malah buntung. Timbul pertanyaan, bagaimana mengelola pengetahuan (knowledge management system/KMS) di era teknologi informasi ini?
Langkah KMS
Guna menciptakan KMS yang efektif, pertama, libatkanlah teknologi sebagai platform dalam mendukung proses manajemen pengetahuan. Dengannya, akan tercipta cara sistemik dalam mengumpulkan, menyebarkan, dan membagi pengetahuan.
Teknologi pula yang membuat informasi perusahaan jadi terlembagakan guna menghindari kesalahan serupa, menghindari proses penemuan, mempersingkat siklus belajar, sekaligus memandu penciptaan keputusan berdasar pengetahuan mendalam.
Secara konkret, teknologi dalam KMS bisa berbentuk mesin pencari, workflow, enterprise content management, document management system, data warehouse, data mining, data mart, artificial intelligent, expert system, portal, web generasi 2.0, dan seterusnya.
Kedua, lakukan taksonomi atau deskripsikan dan kelompokkan pengetahuan yang dibutuhkan. Hal ini dilakukan karena revolusi pengetahuan via Internet sekarang, jelas memerlukan solusi agar pengetahuan mudah dicari karena sudah terstruktur.
Dengan taksonomi, akan terbangun istilah atau kosakata standar yang umum digunakan. Secara konkret, caranya adalah dengan mengelompokkan sesuatu yang memiliki kemiripan, melakukan peta pengetahuan, menciptakan kamus istilah, dan seterusnya.
Taksonomi adalah proses yang menegaskan keberhasilan KMS tidak selalu bergantung teknologi canggih yang dipakai. Tapi juga pada posisi taksonomi sebagai jembatan manusia dengan proses, manusia dengan teknologi, dan proses dengan teknologi.
Ketiga, menumbuh kembangkan kepedulian karyawan kepada KMS. Dalam survei berjudul State of Knowledge Management in Indonesia yang kami lakukan pada 2007 terungkap, 64% responden mengaku tidak memiliki budaya berbagi pengetahuan.
Sementara 52% responden menyatakan knowledge management yang sudah dibuat, malah jarang digunakan. Dengan situasi ini, maka selain terus berusaha menciptakan budaya berbagi, juga dilalukan upaya memberi penghargaan.
Kepada mereka yang berkontribusi tinggi mengembangkan pengetahuan di perusahaannya, diberikan apresiasi internal. Jika cara ini kurang efektif, budaya berbagi ini bisa dimasukkan sebagai bagian penilaian kerja karyawan.
Penulis merupakan Konsultan Senior Manajemen Informasi, KMS & Taksonomi di Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar