Mendagri Usul Honor Pejabat Perlu Diatur


  (Sumber : Humas Depdagri)
"Kita kan taat saja sebagai aparat, kalau boleh dikerjakan, kalau tidak boleh dihentikan. Tetapi tentu semua harus ada dasar hukumnya. Tidak boleh dengan aspirasi saja. Aspirasi mestinya dimasukkan dalam aturan itu, agar ada kepastian hokum bagi aparat dalam bekerja," jelas Gamawan kepada Jurnal Nasional, kemarin (2/1).
Dia melontarkan pernyataan tersebut setelah dituding telah menerima honor sebesar Rp60 juta per bulan saat masih menjabat sebagai Gubernur Sumatera Barat (Sumbar).
Menurut Gamawan, aturan pemberian honor yang ditandatanganinya dalam SK Gubernur Nomor 100-69-2007, tanggal 21 Maret 2007 tentang Pembentukan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) memang menetapkan kisaran honor. Namun, hanya Rp5 juta per bulan. "Jadi, bukan Rp60 juta perbulan. Sebaiknya dicek oleh yang membuat berita. Itu saja sudah salah," tegasnya.
Gamawan pun menegaskan jika honor jajaran Muspida sudah dikeluarkan oleh seluruh pemerintah provinsi dan kabupaten. Bahkan, ada kabupaten yang memberikan honor sebesar Rp10 juta per bulan. Dia juga menyatakan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak pernah menyuruh untuk mengembalikan honor tersebut ke kas negara.
"Namun, BPK hanya meminta dukungan dalam bentuk kegiatan. Setelah dibuat, dukungan kegiatan, maka BPK tidak menganggap lagi honor yang diberikan ke jajaran Muspida itu sebagai tindakan melanggar hukum," tegas Gamawan.
Honor Ilegal
Pemerhati praktik keuangan negara Leo Nugroho memaparkan bahwa pemberian fee dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) kepada para pejabat daerah telah melanggar Pasal 5 PP Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kedudukan dan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pasal itu menyebutkan bahwa kepala daerah dan wakilnya tidak dibenarkan menerima penghasilan ataupun fasilitas rangkap dari negara. Tindakan tersebut juga dianggap memenuhi unsur gratifikasi yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
"Membuka rekening di BPD merupakan bagian dari tugas kepala daerah sebagai pengelola keuangan daerah. Jadi tidak perlu mendapatkan honor lagi karena nanti ganda,"ujar Leo dalam diskusi publik di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) di Kalibata, Selasa (2/2).
Praktik pemberian fee kepada kepala daerah terkuak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum lama ini. Temuan komisi menunjukkan bahwa ada enam bank daerah yang terbukti memberikan imbalan kepada para pejabat daerah dengan nilai total lebih dari Rp 360 miliar.
Keenam BPD antara lain Bank Sumut (Rp 53,881 miliar), Bank Jabar Banten (Rp 148,287 miliar), Bank Jateng (Rp 51,064 miliar), Bank Jatim (Rp 71,483 miliar), Bank Kaltim (Rp 18,591 miliar) dan Bank DKI (Rp 17,075 miliar).
Berdasarkan Permendagri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum BUMD, setiap laba bersih bagian BUMD seluruhnya disetor ke kas daerah. Artinya, kata Leo, seluruh hadiah bunga atas dana APBD yang disimpan di setiap BPD harus disetorkan ke kas daerah dan bukan dialirkan ke rekening pribadi milik pimpinan daerah.
Pemberian fee juga melanggar ketentuan yang diatur oleh Bank Indonesia (BI). Surat BI bernomor 71 SBI I DPNP/DPnP yang diterbitkan 20 Oktober 2005 telah memerintahkan semua bank untuk tidak memberikan hadiah atau bunga khusus bagi pejabat dan penyelenggara negara.
"BI sampai mengeluarkan larangan, karena yang dipakai adalah uang publik yang akan digunakan oleh pemerintah daerah sewaktu-waktu,"ungkap mantan auditor BPKP itu.
Peneliti ICW Tama S. Langkun menyatakan bahwa ada konflik kepentingan dalam pemberian fee BPD. Hal tersebut dikarenakan posisi kepala daerah sebagai pemegang saham dalam BUMD mengacu kepada pasal 8 ayat 2 Permendagri Nomor 3 Tahun 1998. Sebagai pemegang saham, kepala daerah berwenang untuk menentukan arah kebijakan BPD termasuk mengikuti rapat direksi di bank daerah itu.
"Bukan tidak mungkin kepala daerah berperan besar dalam menentukan kebijakan pemberian honor kepada dirinya sendiri maupun koleganya,"kata Tama.
Tama mencontohkan bahwa indikasi konflik kepentingan yang paling nyata terjadi dalam SK Gubernur Kaltim Nomor 821/K.364/2005 tentang Penetapan Anggota Dewan Pembina. Dalam surat keputusan itu disebutkan bahwa gubernur duduk sebagai Ketua Dewan Pembina BPD Kaltim dan bupati atau walikota secara otomatis menjadi anggota dewan pembina.
"Karena ini terjadi di daerah maka kuncinya ada di Kemendagri. Kalau Kemendagri melarang pemberian honor-honor itu maka akan timbul kepatuhan,"tandas Tama.

0 komentar:

Posting Komentar

Bergabung

Arsip

 

Copyright 2009 BKDD Kab. Bulukumba (syarif)