Reformasi Birokrasi tanpa perbaikan mental = NonSense



(Sumber : R Dachroni)

Pada Ahad (29/11/09) KORPRI merayakan HUT-nya yang ke-38. Topik atau slogan yang mereka angkat adalah mendukung reformasi birokrasi. Lagu lama yang mudah untuk diucapkan, tetapi pada prakteknya sulit sekali untuk dipraktekkan. Dimana letak kesulitan penulis pun sulit untuk menjabarkan. Namun, secara sederhana penulis ingin mengungkapkan reformasi birokrasi tidak akan terwujud sebelum mental birokrat itu diperbaiki. Sehebat apapun konsep yang dibuat terkait dengan reformasi birokrasi, jika mental birokratnya tidak dibenahi terlebih dahulu tentunya tidak akan banyak mengalami perubahan pada tubuh birokrasi di Indonesia.

Dilihat dari kacamata istilah birokrasi dapat diartikan sebagai kekuasaan yang berada di belakang meja. Artinya, kekuasaan (dalam arti sempit) ada di tangan orang-orang yang mempunyai suatu jabatan khususnya di pemerintahan. Mengapa dikatakan demikian? Hal ini dikarenakan setiap masyarakat yang berurusan dengan para birokrat, segala urusan takkan lepas dari meja satu ke meja yang lain.

Di luar konteks kacamata istilah di atas baik birokrasi sebagai suatu sistem dan birokrat orang yang menjalankan sistem. Konsep ideal yang dikembangkan oleh Max Weber yang diterapkan belum maksimal dan memang dalam prakteknya juga sulit untuk dilakukan apalagi ditambah dengan rasa ketidakinginan para birokrat untuk melakukan hal tersebut, sehingga muncullah permasalahan-permasalahan yang terjadi pada birokrasi Indonesia antara lain; kelembagaan birokrasi yang besar alias gemuk dan didukung oleh sumber daya aparatur yang kurang profesional, mekanisme kerja yang sentralistik, kontrol terhadap birokrasi pemerintahan masih dilakukan oleh, untuk dari pemerintahan, KKN, kurang bertanggungjawab dan jabatan yang diisi tidak sesuai kemampauan.

Masalah lain, jumlah institusi yang terlalu banyak, belum terwujudnya upaya menempatkan masyarakat pada kinerja birokrasi dan tidak adanya daya saing yang diandalkan dalam menghadapi birokrasi. Namun diantara masalah-masalah itu ada beberapa hal yang menjadi masalah utama dalam birokrasi itu Indonesia. Pertama, lemahnya kontrol rakyat terhadap birokrasi pemerintahan. Kentalnya budaya feodalistik pada birokrasi Indonesia terkadang membuat para birokrat yang seharusnya melayani rakyat malah sebaliknya.

Kedua, jika kontrol rakyat tidak bisa dijalankan, maka birokrasi pun tidak dapat digolongkan sebagai birokrasi yang demokratis. Dari permasalahan-permasalah ini muncullah aroma tak sedap, baik pada birokrasi yang bisa dipandang dari sistem dan lembaga maupun pada birokratnya, meskipun sebenarnya birokrasi tidak bersalah dalam hal ini. Akan tetapi, karena pelaku birokrasi alias birokrat yang nyeleneh akibatnya birokrasi juga turut dipersalahkan.

Tidak pernah jujur dan tak dapat dipercaya, kebijakan tidak rasional, dan sifatnya terkadang terkesan lift service ditambah lagi dengan beberapa oknum birokrat yang umumnya bekerja lamban, berbelit-belit, merasa bangsawan (priyayi), setengah rajin, nepotisme, kemampuan kurang, tidak disiplin dan kurang bertanggungjawab. Kendati demikian, tidak semua birokrat mempunyai prilaku seperti itu. Jadi, buat birokrat yang rajin bekerja, ulet dan kreatif tak perlu tersinggung dikatakan seperti demikian.

Apakah persoalan ini akan terus dibiarkan? Jawabannya tentu tidak. Salah satu jalan di antara jalan-jalan lain yang bisa ditempuh dalam mengatasi persoalan ini adalah dengan mereformasi birokrasi itu sendiri dan di dalam birokrasi itu terdapat tiga unsur penting yaitu lembaga (institusi), sistem dan pelakunya (person).

Jadi, kelembagaan dan sistem seperti apa yang perlu direformasi. Mengenai reformasi sering sekali orang mengasumsikan kepada sesuatu yang tidak akan membawakan hasil mengingat zaman reformasi yang diusung oleh mahasiswa sembilan tahun yang lalu hanya membawa penderitaan masyarakat, hidup dalam ketidaknyamanan. Seolah-olah reformasi adalah suatu sistem yang membawa semakin terpuruknya bangsa ini. Padahal, kalau diteliti lebih jauh keterpurukan bangsa Indonesia bukan semata-mata kesalahan dari reformasi atau pemerintah, melainkan ketidaksiapan rakyat menyambut reformasi itu sendiri. Sebaik apapun sistem yang dibuat kalau manusia-manusia di dalamnya tidak bisa mengikuti aturan main yang terkandung di dalamnya tentu itu akan percuma.

Perilaku birokrasi sangat tergantung pada struktur organisasi dan pribadi pejabat. Pada variabel manusia kepentingan atau kebutuhan hidup menuntut imbalan yang memadai dari organisasi. Tetapi kadar (tingkat) ketaatan itu, bergantung pada sejauh mana imbalan yang diharapkan dipenuhi oleh organisasi pemerintahan itu sendiri.
Banyak orang yang beranggapan lemahnya birokrasi Indonesia tidak lain dikarenakan sistem birokrasi Indonesia sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan yang ada dan lembaga birokrasinya yang gemuk, sehingga perlu dirampingkan.

Apapun persoalannya, kelemahan ini sebenarnya tidak hanya dilihat dari lembaga dan sistemnya. Akan tetapi, ada satu pertanyaan menarik ketika mengaitkan antara sistem dan lembaga yaitu dimanakan unsur manusianya? Benar, tak bisa dipungkiri, apapun sistem dan gemuk atau rampingnya birokrasi kita, tentu tidak bisa dilepaskan dari kinerja atau mental kerja para birokratnya.

Tak banyak para birokrat yang hadir sesuai waktu yang telah ditentukan, tetapi cukup banyak birokrat yang pulang lebih awal dari waktu yang juga telah ditentukan. Tak banyak pegawai yang mempunyai keahlian dibidangnya seperti kemampuan mengetik cepat, sehingga terkadang masyarakat mengeluh kerja pegawai yang bisa disebut lambat entah itu disengaja ataupun tidak.

Tanpa bermaksud mencari kelemahan, tetapi inilah suatu mental atau sikap yang perlu diubah. Sudah seharusnya birokrat melayani masyarakat bukan sebaliknya dilayani masyarakat. Selanjutnya, kritik dari masyarakat perlu dianggap sebagai cermin untuk melihat sejauh mana kinerja yang telah diberikan kepada masyarakat. Semua kelemahan-kelemahan yang ada pada para birokrat itu tak lain dikarenakan telah rusaknya mental birokrat.

Oleh karena itu, perlu adanya semacam pembinaan dan (tarbiyah) mental khusus dan berbagai training yang harus berorientasi kepada peningkatan kemampuan birokrat. Bukan training-training yang sifatnya hanya menghabiskan anggaran pendapatan dan belanja daerah atau negara.

Kesimpulannya, reformasi birokrasi merupakan sesuatu yang penting untuk memperbaiki struktur sistem dan kelembagaan birokrasi itu sendiri. Akan tetapi, memperbaiki mental birokrat jauh lebih penting daripada mereformasi birokrasi struktur sistem dan kelembagaan birokrasi karena percuma kalau mental para birokratnya belum diubah seperti sikap priyayi, kebiasaan menunggu petunjuk dan arahan, loyalitas pada atasan bukan pada tugas organisasi, belum berorientasi pada prestasi, keinginan untuk melayani masih rendah, belum bertopang teknologi secara menyeluruh, kurang disiplin dan budaya melayani yang masih rendah. Semua itu mau tidak mau harus segera diperbaiki guna mengembalikan tingkat kepercayaan masyarakat kepada para birokrat.

1 komentar:

BKDD KAB. BULUKUMBA on 22 Desember 2009 pukul 14.50 mengatakan...

Mau diapakan lagi, mental PNS memang suka duit, apakah ini dan itu diembat aja, untuk membiasakan mental birokrat baik adalah pimpinan hr bersih dan jujur, kalo ada,,,, susaaaaaaaaaaaah dptnya

Posting Komentar

Bergabung

Arsip

 

Copyright 2009 BKDD Kab. Bulukumba (syarif)